Senin, 30 November 2015

Reduksi Radiasi Non Pengion EMF Menggunakan Orgonite


Riset Sugeng Abdullah (2015) menunjukanRadiasi EMF pada sumber radiasi yang tidak dipasang orgonite generator  berkisar antara 77  s/d  1.239 mW/Cm2 , sedangkan  radiasi EMF pada sumber radiasi yang dipasang orgonite generator berkisar antara  14  s/d  993 mW/Cm2 atau  0.0057596 s/d  0.2042601 mT tergantung jenis alat rumah tangganya. Reduksi radiasi elektromagnetik (EMF)  sebesar rata-rata  42,7 % . 
Blender yang memancarkan radiasi EMF tertinggi (0.2548623 mT) ternyata memiliki radiasi EMF yang sudah melampaui batas aman, jika dianggap paparan radiasi EMF tersebut mengenai anggota tubuh dan seluruh tubuh. Radiasi EMF dari blender sudah melampaui ambang batas ketentuan  Permennakertrans No.13/MEN/X/2011 yakni  0,2 mT. Setelah blender dipasang orgonite ternyata ada reduksi radiasi EMF menjadi   0.1960321 mT.   Peralatan rumah tangga yang diukur dalam penelitian  ini setelah dipasang orgonite semua menunjukan penurunan radiasi EMF hingga dibawah ambang batas 0,2 mT. Artinya  peralatan listrik tersebut menjadi aman untuk dipakai. Orgonite bermanfaat untuk mereduksi radiasi EMF.

Bila dibandingkan dengan ketentuan dari  WHO dan IRPA, maka peralatan rumah tangga yang diukur dalam penelitian tersebut, setelah dipasang orgonite  menujukan hal yang sama, yakni paparan radiasi EMF / medan magnet  pada jarak terdekat (3 cm) termasuk kategori aman. 
Fakta ini berbeda dengan penelitian Deni (2015) yang melaporkan bahwa pada peralatan yang sama dan dipasang orgonite menunjukan  reduksi radiasi EMF yang sangat kecil, bahkan beberapa diantaranya  mengalami peningkatan radiasi EMF. Gejala yang sama juga dijumpai oleh penulis yakni pada pengukuran radiasi EMF  HP, sebagaimana ditunjukan pada tabel 1, yang oleh penulis dianggap sebagai anomaly.  Gejala reduksi atau sebaliknya,  peningkatan radiasi EMF oleh adanya orgonite, penulis menduga bahwa orgonite layaknya sebuah komponen elektronik resistor atau kondensator keramik.
Resistor atau kondensator keramik memiliki kinerja yang berbeda karena  komponen dan karakteristik material penyusun yang berbeda. Hal yang sama berlaku juga bagi orgonite. Komposisi dan jenis serbuk logam yang berbeda serta  penggunaan jenis, komposisi atau jumlah batu kristal yang berbeda pada pembuatan orgonite, diduga akan memberikan efek yang berbeda. Berdasarkan  alasan  ini, maka perlu dilakukan penelitian  lebih lanjut mengenai efek reduksi radiasi EMF orgonite dengan komposisi dan jenis material penyusunnya.
Dalam percobaan yg dilakukan, Orgonite secara meyakinkan  menunjukan bahwa penggunaan orgonite dapat mereduksi radiasi EMF sebesar 42.7 %, maka setiap beraktifitas  dengan sumber radiasi EMF disarankan untuk memasang/meletakkan orgonite didekatnya.  Pemasangan orgonite dapat ikut memberikan kontribusi mengurangi gangguan kesehatan akibat radasi EMF. Telah diketahui ada beberapa orang yang sangat sensitive terhadap EMF ( Electromagnetic Hypersensitivity) merasakan manfaat pengunaan orgonite (Angela Hobbs, 2012).
Penggunaan orgonite untuk mereduksi radiasi EMF sebagai upaya mengurangi atau menghilangkan gangguan kesehatan memang masih memunculkan banyak perdebatan (Jim Waugh, 2010).  Dikatakan bahwa beberapa percobaan yang  dilakukan menunjukan tidak adanya penurunan atau reduksi radiasi EMF pada penggunaan orgonite, tetapi para pengguna orgonite secara subjektif mengaku ada sensasi perubahan kondisi kebugarannya.  Neil (2013) menyatakan bahwa  batu kristal (dalam orgonite)  sama sekali tidak dapat mencegah radiasi EMF atau dirty electricity, tetapi barangkali batu kristal itu membantu harmonisasi energy dalam tubuh pengguna, kendatipun sangat sedikit.
Terlepas dari pro dan kontra penggunaan orgonite untuk mereduksi radiasi EMF,  penggunaan orgonite tetap akan memberikan manfaat. Orgonite dengan komposisi kristal batu mulia dan kombinasi logam emas  dengan disain menawan dan mewah, sekarang banyak ditawarkan di toko-toko online dengan harga yang mahal. Ini artinya  merupakan produk (seni) yang banyak peminat dan tentu memberikan manfaat bagi penggunanya

Selasa, 10 November 2015

MENJADI SEHAT ITU MAHAL (Memperingati HKN 12 Nov 2015)



Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas, diantaranya didasarkan atas pertimbangan  bahwa untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat dan mencegah penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan perlu adanya layanan kesehatan lingkungan.

Layanan kesehatan lingkungan  meliputi : penyehatan air, udara, tanah, makanan dan pengendalian vector penyakit. Pemerintah (dan masyarakat) harus membangun sarana penyediaan air bersih / air minum yang memenuhi syarat, yakni jumlah airnya cukup, kualitas airnya sehat, aksesnya mudah dan murah/ekonomis. Udara di lingkungan kita juga harus sehat, tidak ada pencemaran asap, debu, kimia, radiasi pengion dan  elektro magnetic dan kuman pathogen. Tanah juga harus sehat, bebas dari pencemaran kimia, kotoran/tinja, sampah dan limbah cair lainnya. Lingkungan juga harus bebas dari vector penyakit seperti nyamuk, lalat, kecoa dan tikus.

Sesungguhnya layanan kesehatan lingkungan merupakan tindakan preventif dari kemungkinan terjadinya penyakit pada manusia. Sepotong kalimat sakti sering digaungkan oleh pejabat dilingkungan kementerian kesehatan: “Mencegah lebih baik daripada mengobati”. Faktanya justru berkebalikan. Mengobati lebih baik (baca: disukai) daripada mencegah. Lihat saja kegiatan yang dilakukan  dan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Layanan medik dan pengobatan jauh lebih besar ketimbang layanan kesehatan lingkungan. Hal yang sama juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita.

Jika sudah demikian, artinya: menjadi sehat itu mahal. Secara gamblang dapat kita cermati. Seseorang yang sudah terlanjur sakit, maka untuk menjadi sehat perlu pengobatan dengan biaya yang besar. Banyak masyarakat yang terpaksa menguras tabungan, berhutang dan bahkan menjual harta bendanya untuk biaya pengobatan. Kita juga maklum,  ketika melakukan terapi atau pengobatan hasilnya dapat sembuh, cacat atau meninggal. Selama pengobatan berlangsung, produktivitas akan turun bisa sampai pada titik nol.

Sehat akan menjadi murah, manakala kita mau melakukan tindakan pencegahan (agar tidak sakit). Ciptakan lingkungan yang sehat, baik di rumah, permukiman, tempat kerja, tempat umum, tempat rekreasi, transportasi dan matra. Laksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Lakukan hal-hal sederhana terkait dengan terciptanya layanan kesehatan lingkungan berikut ini.

Gunakan air yang sehat untuk mandi, cuci dan minum. Air yang sehat adalah air yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mengandung kuman penyakit, tidak mengandung racun dan logam berat, dan tidak kena radiasi pengion. Hati-hati menggunakan air dari sumur dalam, sangat mungkin adanya radiasi pengion dan Radon atau Thoron. Membuat sumur jauh dari septic tank, selokan, sungai, tempat sampah,  kandang ternak dan sejenisnya.

Selalu buang air besar di kakus/jamban yang sehat. Jamban yang sehat adalah kotorannya tidak mencemari tanah, tidak mencemari air tanah, tidak mencemari air permukaan (sungai, danau, embung, dsj). Kotoran tidak bisa dijangkau oleh lalat, kecoa, serangga lain, tikus dan tidak menimbulkan bau. Lokasi jamban mudah dijangkau.

Buanglah sampah ditempatnya, jangan buang sampah sembarangan. Biasakan memilah dan memisahkan sampah di rumah tangga. Jangan membuah limbah cair langsung  ke selokan atau sungai. Buatlah sumur peresapan. Jangan ada air menggenang atau wadah bekas yang terisi air untuk mencegah nyamuk berkembang biak.

Ruangan tempat tinggal atau tempat kerja dibuat agar udara sehat dapat terus mengalir. Gunakan ventilasi dengan lubang yang cukup luas (20% luas lantai) dan ventilasi silang yang memungkinkan udara mengalir berganti. Tanami pohon disekitarnya agar udara menjadi sejuk. Gunakan kipas angin atau AC bila memungkinkan. Ruangan tidak boleh penuh sesak denga barang dan perabotan untuk mencegah kecelakaan dan hadirnya tikus pembawa penyakit pes dan leptospirosis.

Biasakan cermat dalam memilih bahan makanan, mengolah makanan, menyimpan makanan mentah dan matang, membawa/mengangkut makanan, menyajikan makanan. Cermat dalam arti selalu memperhatikan kebersihan, keutuhan dan kesehatan makanan.

Apabila kita masih memerlukan layanan kesehatan lingkungan secara paripurna, kita bisa datang ke Puskesmas. Temui petugas kesehatan lingkungan yang biasa disebut Sanitarian. Kadang mereka juga disebut petugas HS (Hygiene dan Sanitasi). Kita juga dapat datang ke kantor secretariat HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepada mereka kita dapat secara rinci berkonsultasi  membuat air yang sehat, septic tank yang memenuhi syarat, membuat IPAL, berantas nyamuk, lalat dan tikus, dan layanan kesehatan lingkungan lainnya. (Sugeng Abdullah, 2015)

Senin, 09 November 2015

Penurunan kadar flourida (F) dalam air

Peningkatan kadar fluoride dalam air tanah dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan tulang manusia jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan untuk mengurangi kadar fluoride dalam air tanah jika ditemukan melebihi batas standar yang ditetapkan oleh badan kesehatan setempat. Kadar fluoride dalam air tanah bisa menjadi tinggi karena beberapa faktor, seperti: Aktivitas geologi: Kandungan fluoride dalam air tanah dapat meningkat jika air mengalir melalui batuan yang mengandung mineral fluorit atau batuan beku vulkanik. Kegiatan industri: Beberapa industri menggunakan zat kimia yang mengandung fluoride, dan jika bahan-bahan ini tidak diolah dengan benar, maka fluoride dapat mencemari air tanah di sekitarnya. Penggunaan pupuk: Pupuk fosfat yang digunakan untuk pertanian mengandung fluoride. Jika terjadi kelebihan pemakaian pupuk di suatu daerah, fluoride dapat masuk ke dalam air tanah melalui sisa pupuk yang meresap ke dalam tanah. Pembuangan limbah: Limbah industri dan domestik yang mengandung fluoride dapat mencemari air tanah jika dibuang secara tidak aman. Proses pengolahan air: Jika air berasal dari sistem pengolahan air yang menggunakan fluoride sebagai bagian dari prosesnya, maka kadar fluoride dalam air tersebut bisa meningkat. Untuk menghilangkan fluoride dari air, terdapat beberapa zat kimia yang dapat digunakan. Beberapa di antaranya adalah: Aluminium sulfat (Alum): Alum sangat efektif dalam menurunkan konsentrasi fluor pada air. Zat ini akan bereaksi dengan fluor dan membentuk endapan yang kemudian bisa disaring untuk mendapatkan air yang aman. Kalsium karbonat: Zat ini bisa digunakan untuk menetralkan fluor dalam air, sehingga kadar fluoride yang tinggi dalam air bisa turun. Kalsium fosfat: Seperti halnya kalsium karbonat, kalsium fosfat juga bisa digunakan untuk menetralkan fluor dalam air. Berikut adalah cara menurunkan fluoride dalam air menggunakan alum: Persiapkan bahan-bahan yang diperlukan, yaitu alum (Aluminium Sulfat), air bersih, dan peralatan seperti ember, sendok, kain saring, dan wadah untuk menyimpan air hasil filtrasi. Masukkan air yang akan diolah ke dalam ember. Campurkan alum ke dalam air secara perlahan sambil terus diaduk hingga merata. Sebagai acuan, rasio dosis alum yang umum digunakan adalah 15-30 mg/L atau 15-30 gram alum per 1000 liter air. Biarkan campuran air dan alum mengendap selama minimal 30 menit hingga endapan alum terbentuk di bagian bawah ember. Setelah endapan terbentuk, gunakan kain saring untuk menyaring air tersebut agar endapan alum tidak ikut terbawa. Simpan air hasil filtrasi di dalam wadah bersih dan tutup rapat untuk mencegah kontaminasi oleh zat-zat lainnya. Tes kualitas air hasil filtrasi menggunakan alat tes fluoride untuk memastikan bahwa kadar fluoride pada air telah turun sesuai dengan standar yang ditetapkan.

La Nina dan Dinamika Penyakit Menular di Indonesia



Kemarau panjang dan kekeringan tahun 2015 ini telah  memicu kebakaran hutan dan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan. Kata para ahli,  itu semua karena  dampak dari El Nino. Para ilmuwan juga menyatakan bahwa 75% El Nino  akan diikuti oleh La Nina,  yang juga dapat memicu bencana dahsyat. Dalam catatan di Indonesia, telah terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun 1950, 1955, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995 dan 1999.

Jika mengacu bahwa setelah  El Nino akan selalu diikuti La Nina, maka Indonesia harus bersiap menyambut datangnya La Nina. Indonesia harus bersiap menghadapi bencana dahsyat  berikutnya. Kedatangan La Nina  dapat menimbulkan petaka di berbagai kawasan khatulistiwa, termasuk Indonesia. Curah hujan berlebihan  dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Angin puting beliung ikut melengkapinya. Itulah “Nasib” Indonesia. Lepas dari  bencana satu, datang bencana berikutnya.  Indonesia memang dikenal sebagai hypermart bencana. Artinya semua bencana ada di Indonesia. Tinggal kita, mampukah mengantisipasinya ?.

La Nina datang, dikuti  bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung. Dampak berikutnya adalah persoalan sosial-ekonomi  dan kesehatan. Lazim sebuah bencana, maka bencama akibat La Nina akan menimbulkan banyak korban harta dan manusia bahkan nyawa.  Korban atau pengungsi akibat bencana itu akan mengalami banyak penderitaan. Kelaparan, kedinginan, hidup dan tidur berdesak-desakan, stress, dan gangguan kesehatan  adalah kenyataan yang harus dialami. Ketidak-nyamanan hidup adalah dampak minimal dari La Nina.

Banjir, longsor dan angin ribut dapat menghancurkan beragam sarana dan prasarana ekonomi dan kesehatan.  Sarana air minum dan sanitasi  ikut  rusak, dampaknya layanan sanitasi kesehatan lingkungan nyaris tidak ada. Akibatnya berbilang penyakit menular siap menjangkiti   manusia, utamanya  mereka yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, yakni anak-anak, ibu hamil/menyusui  dan manula.

Curah hujan yang tinggi dan banjir dipastikan akan mempengaruhi dinamika penyakit menular di Indonesia. Banjir dapat mencemari sumber air minum, yang pada akhirnya akan menyebabkan naiknnya angka kesakitan  penyakit intestinal, penyakit saluran pencernaan  termasuk diare. Banjir juga dapat menyebarkan bakteri Leptospira yang berasal dari kencing tikus penyebab penyakit leptospirosis. Hujan yang berkepanjangan  dapat menurunkan kondisi daya tahan tubuh manusia, akibatnya  mudah terkena penyakit  batuk pilek dan sejenisnya.

Hujan juga dapat menciptakan ekosistem mikro berupa  tampungan air di sampah, kaleng dan kemasan bekas, pelepah pohon, bonggol bamboo, dan lainnya. Ekosistem mikro  ini  dapat menjadi tempat perindukan bagi nyamuk Aedes sp. Nyamuk ini akan berkembang biak dan pada saatnya  akan menularkan penyakit demam berdarah dan chikungunya. Di tempat yang sama dapat saja terjadi ledakan perkembangbiakan nyamuk  Culex penular penyakit kaki gajah atau filariasis. Jenis nyamuk Anopheles tertentu juga akan berkembang biak, dan pada akhirnya dapat menularkan penyakit malaria.

Beberapa saat setelah banjir surut, dimana-mana terdapat sampah yang menumpuk. Sampah ini merupakan  tempat perindukan yang ideal bagi lalat. Lalat akan berkembang luar biasa besar, dan dapat menularkan penyaki kolera, tifus, disentri, dan panyakit perut lainnya.

Jika kita sudah tahu, La Nina segera hadir dengan beragam bencana dan persoalan sosial, ekonomi dan kesehatan;  selanjutnya apa yang harus diperbuat. Para pengelola negeri  ini tentu  harus melakukan antisipasi, demikian juga masyarakatnya. Pemerintah harus  melaksanakan  tindakan preventif, mitigasi dan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Rencana kontingensi harus dibuat di level kabupaten/kota. Masyarakat  termasuk ormas2 harus patuh terhadap  aturan-aturan pemerintah  untuk menghidari / mengatasi bencana, sambil terus memberikan kritik dan masukan kepada penguasa negeri.

Kendatipun La Nina sering dihubungkan dengan banyaknya bencana banjir dan longsor di Indonesia, sejatinya La Nina juga  memberikan  dampak positif.  Saat terjadi La Nina suhu muka laut di barat Samudera Pasifik hingga Indonesia menghangat. Kondisi ini mendorong ikan tuna dari Pasifik
timur yang dingin bergerak masuk ke kawasan timur Indonesia. Nelayan di wilayah ini akan panen raya ikan tuna. (Sugeng Abdullah (2015))