Jumat, 27 Juni 2008

Sanitarian Gagas Pembangkit Listrik Tenaga Hewan

Krisis listrik saat ini memicu dua hal yang kontradiksi. Pertama, dapat memicu timbulnya keputus-asaan akibat beban yang semakin sarat. Kedua, krisis listrik justru memacu lahirnya terobosan baru di bidang kelistrikan.

aku mungkin akan jadi bahan tertawaan bila mengajukan usulan agar kembali ke teknologi masa lampau. tapi aku tidak peduli. Aku merencanakan (mimpi) membangun Pembangkit Listrik Tenaga Hewan (PLTH) mengikuti teknolgi masa lampau. Kita ingat, betapa hewan telah dimanfaatkan oleh manusia sejak dahulu. efek negatif dari pemanfaatan hewan nyaris tidak pernal dilaporkan.

Hewan telah berjasa dalam bidang pertanian untuk membajak sawah. berjasa pula di bidang transportasi dan industri penggilingan gandum, tahu, tebu dan lainnya. sudah saatnya untuk memanfaatkan kembali hewan sebagai pemutar dinamo listrik. bila dianalogikan dengan kemampuan membajak sawah, maka diperkirakan seekor sapi atau kerbau akan diperoleh tenaga setara dengan 4 - 6 tenaga kuda (HP). dengan demikian dapat diperoleh listrik minimal 4 x 725 = 2900 watt. cukup untuk kebutuhan standar Rumah Tangga.

Keuntungan berikutnya, kotoran sapi dapat diproses menjadi gas bio dengan teknologi yang sangat sederhana. "limbah" dari pencerna gas bio dapat langsung dipakai sebagai pupuk yang sangat baik. tidak ada bibit penyakit, tidak ada bau yang ditimbulkan.

Bandingkan bila membangun PLTU, PLTA, PLTN, PLTD, PLTS, PLTSh dan sejenisnya, berapa biaya yang harus disediakan. belum lagi membangun jaringan. Jadi mimpi membangun PLTH gagasan saya ini, rasanya cocok untuk daerah pertanian atau terpencil.

lalu siapa yang mau menjadi sponsor ?

Minggu, 22 Juni 2008

Praktek Mandiri Sanitarian dan Amdalist

bila membaca situs www.sanitarian.com maka kita akan tahu, bawa sanitarian disana memiliki job yang amat bergengsi. sebaliknya di Indonesia, Sanitarian sering dipandang sebelah mata. Sanitarian hanya dianggap sebagai pembantu dokter di puskesmas, bahkan di beberapa daerah sanitarian dianggap tidak mampu untuk menjadi pimpinan puskesmas. pimpinan puskesmas harus dokter, katanya. pimpinan dinas kesehatan harus dokter juga, katanya. dll.

Melihat kemampuan Sanitarian dari materi pendidikan yang dijalani, maka sudah semestinya para Sanitarian yang ada di setiap puskesmas di seluruh Indonesia diberdayakan untuk penyehatan lingkungan. Tujuan Amdal pada titik akhirnya adalah agar lingkungan tetap sehat, maka, sekali lagi, bila melihat materi yang telah dikuasai para Sanitarian, rasanya tidak berlebihan bila Sanitarian diberi hak dan kewenangan untuk PRAKTEK MANDIRI. Sanitarian dan Amdalist memang sudah waktunya diberi hak yang sepadan. Keduanya memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan.

Sekelumit pengalaman, atau lebih pas bila disebut sebagai "Canda Belaka". Tahun 2004 saya datang ke Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa tengah. pada saat itu saya mencoba bertanya dan meminta formulir perijinan praktek sanitarian bersamaan dengan teman-teman dari dokter, bidan dan perawat. rupanya ijin praktek bagi sanitarian sama sekali tidak terbayangkan keberadaanya.

Kapan Sanitarian boleh praktek mandiri seperti Amdalist ? Lalu siapa yang memberikan Ijin praktek ? Dinas Kesehatan? atau Dinas PU? atau Dinas Lingkungan Hidup? atau Bappedal ?
Ayo kita tanyakan rame-rame

Sanitarian prihatin dengan HAKLI

Dulu pernah ada organisasi profesi Ikatan Sanitarian Indonesia (ISI). Anggotanya berasal dari Sanitarian alumni SPPH (Sekolah Pembantu Penilik Hygiene). SPPH menyelenggarakan program pendidikan 1 tahun bagi lulusan SMA dan 9 bulan bagi alumni CTP (Crash Training Program) Sanitasi. Babak berikutnya, ISI bersama organisasi profesi bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan yang lain, meleburkan diri menjadi organisasi baru yang disebut HAKLI.

HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) merupakan organisasi profesi setara dengan IDI, IAKMI, PDGI dan lainnya. Namun demikian HAKLI tampaknya kalah pamor dengan IDI atau yang lain. Ada kesan, para pengurus kurang "menggigit" dalam mengelola organisasi. demikian halnya dengan para anggotanya yang hampir tidak merasa bangga menjadi anggota HAKLI. Penyebab lain yang sering mengemuka adalah kurangnya dukungan pendanaan dan sponsor.

Bukti bahwa pengurus kurang "menggigit" diantaranya adalah tidak terlibat secara kelembagaan dalam momen Tahun 2008 sebagai Tahun Sanitasi Internasional. Ironis memang, HAKLI yang semua anggotanya adalah ahli dan praktisi sanitasi, tetapi tidak bisa ambil bagian dalam kegiatan sanitasi berskala nasional. apakah karena SDM yang lembek? atau tidak berani tampil ?

Memprihatinkan ! anggota HAKLI yang tersebar di hampir setiap kecamatan di seluruh Indonesia, tidak ambil bagian dalam kegiatan Tahun Sanitasi Internasional 2008. Memang ada beberapa person (oknum) anggota yang terlibat dalam kegiatan tersebut, tetapi bukan membawa nama HAKLI. Mereka terlibat karena tugas dan dinas yang mereka emban.

Momen Indonesia Bisa! Mengapa HAKLI tidak bisa?

Masih penasaran dengan HAKLI ? coba tengok http://haklikosmopolitan.blogspot.com

Selasa, 17 Juni 2008

Sanitarian Tertarik Daur Ulang Sampah

Sengaja aku kutip sepotong artikel tentang daur ulang sampah elektronik. dalam artikel tersebut dinyatakan bahwa saat ini di Indonesia terdapat ribuan mungkin juataan sampah elektronik. diantaranya adalah SIM Card atau RUIM Card dan telepon seluler (HP).

Satu ton SIM Card dapat diperoleh 150 gram emas murni bila di daur ulang. belum lagi tembaga dan logam lainnya. Bandingkan dengan hasil penambangan emas dari alam yang konon dari satu ton bahan tambang "hanya" diperoleh 5 gram emas murni.

Jadi, bagi seorang sanitarian yang bergelut dibidang pengelolaan sampah, informasi ini tentu menarik untuk ditindak lanjuti. Merintis usaha mengumpulkan kartu HP dan HP bekas untuk diambil logamnya, Emas murni.

Hebat! ini baru Sanitarian Indonesia bila sukses menjadi penambang emas dari sampah. Kapan akan terealisir?

Selasa, 03 Juni 2008

Kebutuhan Tenaga Kesehatan Lingkungan di Indonesia

Data di Departemen Kesehatan RI, kebutuhan tenaga kesehatan lingkungan (Sanitarian) pada tahun 2010 adalah 23.594 orang, diantaranya sebagai penopang suksesnya desa SIAGA. Sementara jumlah Sanitarian yang telah ada pada tahun 2006 sebanyak 18.994 orang, sehingga sampai dengan tahun 2010 masih dibutuhkan Sanitarian sebanyak 5.000 an orang.

Kebutuhan Sanitarian sebanyak itu akan disuply dari institusi pendidikan mana saja? yang sudah pasti, akan di pasok dari Program Diploma III Kesehatan Lingkungan yang ada di Politeknik Kesehatan milik Depkes. Salah satunya adalah D.III Kesehatan Lingkungan Purwokerto, Poltekkes Depkes Semarang.

Ironisnya, kekurangan tenaga kesehatan lingkungan sebanyak itu, tidak diikuti oleh minat masyarakat (lulusan SMA / MA). Masyarakat lebih memilih program studi Kebidanan dan keperawatan (yang nota bene, sudah sangat banyak). Akibatnya institusi pendidikan D.III Kesehatan Lingkungan, "hanya" menerima calon mahasiswa dengan jumlah pas-pasan, sehingga nyaris tidak ada persaingan dalam perebutan kursi kuliah. Lebih lanjut, mutu calon mahasiswa juga kurang memadai.

Ini PR untuk pengelola D.III Kesehatan Lingkungan, dan tentu saja juga bagi pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan, -- untuk bisa meningkatkan pamor Kesehatan Lingkungan. Bukankah tahun 2008 sebagai Tahun Sanitasi Internasional, Tahun Kesehatan Lingkungan!.

Momen 100 th kebangkitan nasional rasanya tidak memberi daya ungkit bagi bangkitnya tenaga kesehatan lingkungan (Sanitarian) yang pernah "Jaya" ditahun 70 - 80an. Padahal problem lingkungan semakin menggila. penyakit berbasis lingkungan "bangkit kembali" sebut saja Malaria, Demam Berdarah, Flu Burung, dll.

Indonesia Bisa! Sanitarian Bisa?