Sabtu, 31 Mei 2025

MENOLAK JAHILIYAH SANITASI

 Jahiliyah sanitasi (صرف صحي جاهلي (Ṣarf ṣaḥī Jāhilī)) adalah istilah yang penulis sodorkan  untuk menggambarkan  situasi dimana kondisi kesehatan dan kebersihan lingkungan tidak dipedulikan. Jahiliyah sanitasi  atau jaman kegelapan bidang sanitasi dalam catatan sejarah, adalah jaman kegelapan  yang sering dikaitkan dengan masa antara 500–1500 M, dimana pada periode ini orang-orang  di Eropa biasa membuang kotoran (tinja) dari jendela ke jalan, pekarangan atau ke sungai. Saat itu  banyak penyakit akibat sanitasi buruk, utamanya kolera dan penyakit perut lainnya. Sekedar  memberi informasi, sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan lingkungan fisik, kimia, biologi  agar tidak  menyebabkan  penyakit atau gangguan kesehatan. Upaya difokuskan untuk penyehatan air,udara, tanah, pangan, pengendalian vektor dan penyehatan sarana.

Pada periode Jahiliyah sanitasi ini (500-1500)  lahir Nabi Muhammad saw (571 M) yang  kemudian diutus menjadi Nabi dan Rasul di usia 40 tahun (611 M). Dalam sejarah Islam, periode sebelum kenabian ( <611) dikenal sebagai zaman jahiliyah. Jadi  terdapat irisan periode jahiliyah sanitasi dengan Jaman jahiliyah yang sesungguhnya. Nabi Muhammad saw  menjadi rosul terakhir yang menjadi rahmat bagi semua, nabi yang membawa ajaran Islam yang paripurna, nabi  sebagai tauladan dengan ahlak yang agung, mulia dan sempurna. Paling tidak, itulah yang diimani oleh Muslim seluruh dunia. Terlepas dari soal keimanan, sesungguhnya nabi Muhammad telah sangat banyak menyampaikan ajaran yang bersifat universal - kemanusiaan. satu diantaranya adalah sanitasi.

Ketika masyarakat Eropa masih berperilaku membuang kotoran sembarangan, Nabi Muhammad saw sudah menyampaikan larangan  membuang kotoran / tinja di jalanan atau di tempat berteduh. Perhatikan sabda nabi yang terekam dalam hadits berikut : "Hindarilah dua hal yang menyebabkan laknat." Para sahabat bertanya: "Apakah dua hal yang menyebabkan laknat itu, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Orang yang buang air besar (atau buang hajat) di jalanan manusia atau di tempat berteduh mereka." (HR. Muslim).

Hadits diatas  secara langsung berkaitan dengan prinsip-prinsip sanitasi dan kebersihan lingkungan, yakni :

  • Mencegah Pencemaran Lingkungan: Larangan buang hajat di jalan dan tempat berteduh adalah upaya nyata untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh kotoran manusia. Kotoran ini dapat menjadi sumber penyakit dan bau tidak sedap.
  • Menjaga Kesehatan Masyarakat: Area umum seperti jalan dan tempat berteduh sering digunakan oleh banyak orang. Buang hajat di tempat tersebut dapat menyebarkan bakteri, virus, dan parasit, yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit menular seperti diare, kolera, dan tifus.
  • Menjaga Kenyamanan dan Estetika: Selain aspek kesehatan, hadits ini juga menekankan pentingnya menjaga kenyamanan dan keindahan lingkungan bagi semua orang. Buang hajat sembarangan tentu sangat tidak nyaman dan merusak pemandangan.
  • Menghindari Laknat/Sumpah Serapah: Frasa "dua hal yang menyebabkan laknat" menunjukkan betapa seriusnya dampak dari perilaku ini. Orang yang buang hajat sembarangan akan menyebabkan orang lain mengeluh, marah, dan bahkan melaknatnya karena telah mengganggu kenyamanan dan kesehatan mereka.
Tentu saja tidak hanya satu hadits seperti diatas, masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan, betapa nabi Muhammad saw sudah lebih dahulu mengajarkan bidang-bidang yang berkaitan dengan sanitasi, dibanding dengan orang Eropa. Kendatipun Romawi (Eropa) pada 100 M sudah mengenal pembuangan tinja dengan saluran pipa  air yang mengalir dan disalurkan ke sungai, tetapi hal demikian masih tetap menimbulkan masalah. yakni pengotoran/pencemaran sungai. Kita dapat membandingkan dengan sabda nabi yang melarang buang air besar di air yang mengalir (sungai) dan tempat terbuka. Sementara orang romawi membangun toilet sengaja dibuat terbuka. 

Perhatikan lagi sabda nabi yang lain: "Hindarilah tiga hal yang mendatangkan laknat: buang hajat di tempat mengalirnya air (sungai/sumber air), di tempat berteduh, dan di tengah jalan." (HR Abu Dawud). Larangan pada hadits ini memiliki hikmah yang mendalam terkait sanitasi dan kesehatan masyarakat, yaitu :
  • Pencegahan Pencemaran Air: Air adalah sumber kehidupan. Buang hajat di tempat mengalirnya air akan mencemari sumber air minum atau air yang digunakan untuk mandi, bersuci, atau keperluan lainnya oleh manusia dan hewan.
  • Penyebaran Penyakit: Air yang tercemar feses dapat menjadi media penyebaran berbagai penyakit menular seperti kolera, tifus, disentri, dan hepatitis. Larangan ini adalah tindakan preventif untuk menjaga kesehatan masyarakat.
  • Menjaga Kesucian dan Kebersihan: Islam sangat menekankan kesucian (thaharah). Air yang tercemar oleh najis tidak lagi suci untuk digunakan dalam ibadah atau keperluan lainnya.
  • Menghormati Hak Orang Lain: Sumber air adalah milik bersama. Mencemarinya berarti mengabaikan hak orang lain untuk mendapatkan air yang bersih dan sehat. Ini juga alasan mengapa tindakan tersebut mendatangkan "laknat" (kutukan atau sumpah serapah dari orang yang dirugikan).
Dua contoh hadits diatas, seharusnya sudah dapat dijadikan argumen untuk menolak jahiliyah sanitasi. Ironisnya memang masih banyak muslim yang jahiliyah sanitasi. masih banyak muslim yang buang air besar sembarangan, masih banyak muslim yang apriori dengan sanitasi. Kesannya masih banyak muslim yang lebih mementingkan pembiayaan  ritual keagamaan semacam khaul, pengajian akbar, dan perayaan keagamaan sejenis lainnya; dibandingkan dengan investasi pembiayaan untuk sanitasi. Padahal seorang muslim pasti meyakini sabda nabi (hadits) : "Kebersihan sebagian dari iman" atau hadits : "Suci sebagai syarat iman seseorang". Hakikat sanitasi sesungguhnya adalah bersih dan suci. Bersih dari kotoran dan sampah  (saniter) serta suci dari hama (steril)

Tidak ada komentar: