Harusnya tidak
boleh dipercaya, karena dapat mengakibatkan kemusyrikan. Namun faktanya batu
itu masih tegar dan utuh. Tidak didapatkan penjelasan resmi dari pejabat
setempat, kenapa batu itu dibiarkan utuh pada saat terjadi pekerjaan cut &
fill pembangunan gedung pendidikan Kampus 7 Poltekkes Semarang tahun 2011. Mungkinkah hanya karena alasan
teknis?, atau historis?, ekologis?, estetis? atau malah karena alasan mistis?.
Inilah pertanyaan yang selalu menggelayut bagi para tamu yang berkunjung ke
Kampus 7, ketika melihat batu besar teronggok di sudut utara bangunan gedung
utama yang berlokasi di Jln Baturraden
Km 12 Purwokerto.
Tidak bisa
dipungkiri adanya kemunculan mitos dan cerita mistis, ketika banyak mata yang melihat dua buah alat
berat tak mampu mengusik keutuhan batu tersebut. Demikian juga ketika dua orang
pemecah batu yang biasa menaklukan batu angker, ternyata menyerah setelah
seharian berupaya memecah batu itu. Pemecah batu itu hanya berkomentar “Tidak
berani, meski dibayar mahal”. Beberapa orang tua yang dianggap mengerti muasal
batu itu hanya berpesan “Biarkan saja, jangan diganggu”. Kesan serem semakin
kental bila ditambah lagi dengan pengakuan beberapa pekerja yang merasa
dipangil-panggil seseorang dari arah batu itu, dan setelah didatangi ternyata
tidak ada siapa-siapa.
Barangkali
hanya rekaan atau bualan belaka yang menyatakan bahwa batu itu sebenarnya
adalah “watu petilasan”. Banyak versi
tentang kisah watu petilasan tersebut, salah satu kisahnya adalah tentang Nyi Sani dan Mbah Taryan. Konon dua
orang yang berjenis kelamin berbeda
itu sebenarnya masih kerabat, tetapi
ketika masih kecil hingga remaja
keduanya saling berseteru. Keduanya selalu bersaing, saling mencurigai dan saling mengintai.
Memang, meskipun masih remaja keduanya dikenal kuat dan sakti. Keduanya
terkesan berebut pengaruh dan berebut perhatian di lingkunganya. Teman-teman sebayanya nyaris semua sudah
meninggal dunia ketika ada “Pageblug” (wabah penyakit mematikan).
Nyi Sani dan Mbah Taryan kecil, dahulunya suka
berebut mendahului memanfaatkan batu itu sebagai tempat berjemur pada pagi
hari. Seperti sudah ada perjanjian diantara keduanya. Apabila Nyi Sani sudah
lebih dulu menempati batu itu sebagai tempat berjemur, maka Mbah Taryan kecil akan
mundur atau menanti Nyi Sani kecil selesai berjemur. Demikian sebaliknya.
Kejadian seperti ini terus berlangsung
dalam waktu yang lama. Hingga suatu
ketika keduanya saling “kepethohok” (berpapasan secara tiba-tiba tanpa
menyadari sebelumnya). Keduanya saling bertemu pandang, kemudian saling bentak
dan saling hardik. Keduanya juga ternyata saling terkesan setelah melihat
langsung dari jarak dekat. Singkat cerita,
Selanjutnya keduanya saling
tertarik dan akhirnya Nyi Sani dan Mbah Taryan
remaja sepakat menikah. Dan ritual pernikahannya berlangsung di atas
batu besar itu.
Nyi Sani dan
Mbah Taryan dikenal kuat dan sakti, bukan karena keduanya tidak mempan senjata,
melainkan karena keduanya semenjak kecil tidak pernah sakit. Keduanya dikenal
pintar memberi wejangan pada orang-orang
agar tidak sakit. Orang-orang yang patuh terhadap wejangan Nyi Sani dan
Mbah Taryan ternyata tidak sedikit. Semuanya berhasil tetap sehat, kuat dan tak pernah sakit. Wejangan itu
dikenal sebagai “Laku pitu”. Laku pitu tersebut dituangkan dalam mantera : “Ngising
ngucing, Medang jarang - Madhang pepek, Kudhu brukut - Ranana runtah, Adoh udhud - Idhep awak”. Laku pitu itulah yang secara konsisten diajarkan dan dilaksanakan oleh Nyi Sani dan
Mbah Taryan.
Nyi Sani memang
memiliki perilaku sangat berbeda dengan
kebanyakan orang di zamannya. Beliau selalu perhatian terhadap kebersihan diri
(Idhep awak). Beliau selalu cuci
tangan bila dirasa kotor atau ketika mau makan. Kuku kaki dan tanggannya
terpelihara rapih dan bersih. Rambut dan kulitnya bersih bercahaya, karena
selalu mandi dan keramas secara teratur. Beliau tidak pernah membuang ludah di
sembarang tempat. Beliau selalu buang
air besar dengan cara seperti kucing (ngising
ngucing), yakni kotoranya selalu dikubur dan ditempat agak tersembunyi. Ketika
itu kebanyakan orang buang air besar di sungai atau di sembarang tempat. Nyi
Sani juga selalu minum air yang direbus (medang
jarang), juga ketika untuk mandi. Sementara kebanyakan orang selalu minum
air secara langsung tanpa direbus
terlebih dahulu. Demikian juga soal makan, beliau selalu menerapkan pola menu yang beragam (madhang pepek).
Mbah Taryan juga
memiliki kebiasaan istimewa, sangat berbeda dengan kebanyakan laki-laki pada
zamanya. Beliau sangat menghidari asap tembakau (adoh udhud), beliau tak pernah merokok. Padahal pada zaman itu
semua laki-laki pasti merokok. Kalau bepergian bertamu, Mbah Taryan selalu
membawa “ilir” (kipas) dan tongkat sapu lidi. Tujuan utama membawa kipas adalah
untuk mengusir asap tembakau yang mendekatinya, disamping untuk mendapat kesejukan saat suasana gerah
atau panas. Mbah Taryan sangat tidak
suka kalau melihat lingkungan sekitar kotor.
Kadang-kadang, bahkan tanpa ijin empunya, apabila mendapati lingkungan
kotor atau halaman rumah yang dikunjungi
bertamu banyak sampah berserakan Mbah Taryan langsung beraksi. Tongkat
sapu lidinya di urai dan digunakan untuk menyapu. Prinsip yang beliau pegang
teguh dan selalu dilaksanakan adalah lingkungan harus bersih dari sampah (tidak
ada sampah = ranana runtah).
Nyi Sani dan
Mbah Taryan juga memiliki kebiasaan selalu melidungi diri dari kemungkinan
gangguan alam. Meski sederhana, rumah
panggungnya terkesan luas, terang, kering dan bersih. Dinding dan atapnya
dibuat rapat dan tidak terlihat adanya tikus,
laba2 atau serangga lainnya.
Keduanya selalu menggenakan pakaian yang nyaris komplit dan lengkap
untuk melidungi dari terik matahari, gigitan serangga atau terpaan angin. Oleh
karenanya beliau berdua sering berpesan : “Men waras ya kudhu brukut” (kalau ingin sehat ya harus brukut). Brukut dapat diartikan sebagai keadaan serba
lengkap dan rapat serta terlindungi, baik untuk
cara berpakaian ataupun untuk
rumah dan perlengkapan lainnya.
Nyata benar,
bahwa kekuatan dan kesaktian Nyi Sani dan Mbah Taryan didapat dari konsistensi
laku pitu. Seiring dengan berjalannya
waktu,nama Nyi Sani jauh lebih kesohor
dibandingkan dengan Mbah Taryan. Mbah Taryan
sama sekali sudah tidak merasa tersaingi, karena nyatanya Nyi Sani juga sudah menjadi istri yang baik dan
menyenangkan bagi dirinya. Keduanya juga sudah bersepakat untuk sepenuhnya
mengabdi bagi masyarakat agar tidak terkena penyakit. Beliau berdua ingin agar wejangan laku pitu
dilaksanakan oleh semua semua orang,
sehingga bisa kuat dan sakti.
Nyi Sani
sudah terkenal ke segala penjuru arah mata angin, sehingga
banyak masyarakat yang ingin bertemu dan memperoleh wejangan secara langsung
dari beliau. Tidak diketahui secara
pasti, mengapa Nyi Sani dalam memberikan wejangan selalu berada diatas batu besar itu. Kebetulan di kampung tempat tinggal
beliau ada beberapa nama yang panggilannya sama. Ada Sanikem, ada Sanimah,
ada Sanirah, ada marSani, dan lain-lain, semuanya dipanggil “ Nyi Sani atau
Nini Sani”. Kemudian untuk memudahkah memberi arah tempat tinggal Nyi Sani yang
dimaksud kepada para tamu yang
mencarinya, maka masyarakat setempat menyebut “Nyi Sani Taryan”. Penyebutan dengan nama itu
terasa sangat lazim dan tepat karena Nyi Sani adalah istri Mbah Taryan.
Hampir
dipastikan Nyi Sani Taryan selalu
mengajak tamunya dan
memberikan wejangannya diatas batu besar itu. Akhirnya banyak yang
menduga bahwa wejangan laku pitu akan
terpatri kuat karena adanya pancaran aura
dari batu itu. Lama-kelamaan dengan semakin tua usia Nyi Sani Taryan, tamu yang bertandang ke rumah beliau
memanggilnya dengan “Mbah Sani Taryan”. Demikian juga masyarakat sekitar,
memanggil beliau juga dengan sebutan yang sama, “Mbah Sani Taryan”. Dalam
beberapa kesempatan Mbah Sani Taryan menyatakan bahwa wejangan laku pitu harus
di tularkan kepada semua orang. Beliau
menyatakan juga bahwa tugas menyebarkan wejangan laku pitu sudah
mendekati selesai.
Beberapa hari
kemudian, terjadilah berita
menghebohkan. Mbah Sani Taryan tiba-tiba
menghilang bersama suaminya. Rumah tempat tinggalnya juga mendadak menjadi
seperti tanah pekarangan biasa. Memang
sebelumnya pernah ada yang mengaku dipamiti oleh Mbah Sani Taryan, yang katanya
akan pergi untuk waktu yang sangat lama. Mbah Sani Taryan memang tidak punya
keturunan alias tidak punya anak, tetapi suatu ketika pernah berpesan :
“Meskipun saya tidak punya anak, tetapi saya akan banyak memiliki cucu. Yaitu siapapun yang belajar dan menyebarkan wejangan laku pitu
otomatis menjadi cucu saya. Diantara cucu saya mereka akan saling tertarik dan
menikah”.
Sepeninggal
Mbah Sani Taryan, beberapa orang yang merasa rindu dengan wejangannya,
seringkali mendatangi batu besar yang biasa digunakan oleh beliau. Kesaksian
penduduk setempat mengaku melihat orang yang
rindu dan sengaja bersemedi di batu
besar itu terakhir terjadi pada tahun 1975an.
Batu besar yang merupakan bekas (jawa : tilas) tempat favorit bagi Mbah
Sani Taryan itu kemudian lebih dikenal
sebagai “Watu Petilasan Mbah Sani
Taryan”
Barangkali
sebuah kebetulan. Awal tahun 80an, areal
Watu Petilasan Mbah Sani Taryan ini
dipilih oleh Departemen Kesehatan RI sebagai tempat untuk mendidik
tenaga Sanitasi. Lama pendidikan saat itu hanya satu tahun. Ilmu yang di
ajarkan mirip dengan wejangan laku pitu, yakni penyehatan air, penyehatan makan,
penyehatan udara, penyehatan tanah dan sampah, pengendalian vektor dan
pemberdayaan masyarakat. Lulusannya disebut Sanitarian (mirip dengan nama mbah
Sani Taryan). Sekarang para Sanitarian lulusan
dari pendidikan sanitasi di area Watu
Petilasan Mbah Sani Taryan telah bekerja di seluruh wilayah Indonesia.
Sekarang
ini area Watu Petilasan Mbah Sani Taryan
telah menjelma menjadi Kampus 7 Politeknik Kesehatan Semarang. Batu besar yang
dikenal sebagai Watu Petilasan Mbah Sani Taryan kini masih tetap utuh dapat dilihat oleh siapa
saja. Barangkali hanya sebuah kebetulan juga. Mereka yang
belajar di tempat ini banyak yang saling
tertarik dan kemudian menikah (ya seperti pesan Mbah Sani Taryan itu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar