Reklamasi
teluk Jakarta telah menuai pro dan kontra dengan argumentasi masing-masing.
Belakangan Gubernur Anis Baswedan telah mengijinkan pembangunan di tiga pulau
reklamasi. Tentu dengan setumpuk argumentasi
yang disertakan. Kelak, siapa tahu Gubernur berikutnya akan mengijinkan
(kembali) melakukan reklamasi di Teluk Jakarta.
Reklamasi
membutuhkan jutaan meter kubik tanah
atau material urug. Material untuk pengurugan
yang lazim adalah batu, tanah dan pasir. Ini masih konvensional atau
mungkin masih konservatif. Setidaknya menurut penulis. Sesungguhnya masih ada material alternative,
yaitu: sampah.
Jakarta
setiap hari membuang sampah 7.500 ton. Ini sudah dapat dikatakan Jakarta darurat sampah. Sampah sebanyak itu
di buang (di tumpuk) di Bantargebang.
TPA Bantargebang diperkirakan hanya mampu menampung sampah Jakarta sampai dengan tahun 2021. Selanjutnya Sesuai
dengan Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032,
Jakarta akan membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah atau lebih dikenal sebagai Intermediate Treatment Facility (ITF) sebanyak 4 buah di Sunter, Marunda, Cakung, dan
Duri Kosambi. Belum ada alternative pembuangan sampah yang “out of
the box” berupa landfill untuk reklamasi.
ITF atau pengolahan apapun yang saat ini dirancang, pasti
tetap akan menyisakan tumpukan eks sampah padat. Ini artinya masih membutuhkan lahan untuk
menampung. Biaya instalasi dan operasional juga besar.
Bandingkan, misalnya, jika sampah digunakan untuk material urug reklamasi Teluk
Jakarta (?). Nyaris hanya perlu biaya
pengangkutan. Biaya pemadatan dan lain-lain
bisa numpang proyek reklamasi. Problem sampah Jakarta teratasi,
sekaligus memperoleh lahan baru dari
reklamasi.
Teori
pembuangan atau pemusnahan sampah diantaranya adalah open
dumping, dumping in water, feeding to hog, combustion, inceneration, land fill,
control landfill, sanitary landfill dan energy recovery. Ini artinya
pemanfaatan sampah untuk material urug
pada kegiatan reklamasi, memiliki dasar teoritis yang jelas. Sampah dapat digunakan untuk landfill (pengurugan) atau control landfill. Sudah pasti harus
dengan persyaratan tertentu.
Persyaratan
utama penggunaaan sampah untuk landfill (baca : reklamasi) adalah
pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya pencemaran atau bencana dikemudian hari. Untuk ini secara teoritis dan teknis tidak
terlalu sulit, yakni dengan cara
isolasi dan stabilisasi. Mencegah agar lindi (leachete) tidak mencemari
laut, maka pengurugan dengan sampah hanya boleh dilakukan ketika pantai pulau
reklamasi sudah jadi. Minimal selebar 105 meter dari garis pantai. Sampah hanya boleh untuk mengisi bagian tengah
pulau.
Teknik yang
lebih ideal untuk mencegah pencemaran dari sampah adalah dengan
kapsulasi menggunakan bahan kedap air. Sampah yang sudah dipadatkan, kemudian dimasukan kantong-kantong kedap air. Selanjutnya digunakan untuk pengganti
material urug pulau reklamasi. Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya
bencana akibat penggunaan sampah untuk
reklamasi, tentu harus melibatkan banyak fihak, diataranya para pakar
konstruksi, pakar lingkungan, pakar tata bangunan, pakar hydrologi dan lainnya.
Purwokerto, 27
Agustus 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar